- 1 Rumah Panjang (Kalimantan Barat)
Prinsip Kebersamaan, Kesetaraan, dan Hidup Gotong Royong
Masyarakat Dayak
Bermula dari Sabang melangkah menuju Merauke begitu
banyak kebudayaan ditiap daerah. Kebudayaan mengenai asal usul daerah, adat istiadat,
benda yang dikeramatkan dan kebiasaan masyarakat ditiap daerah dan juga masih
banyak kebudayaan-kebudayaan ditiap daerah-daerah Indonesia yang belum
diketahui oleh masyarakat secara umum.
Keberadaan rumah adat sebagai wujud material kebudayaan
yang banyak terdapat di daerah-daerah di Indonesia memiliki nilai penting dalam
sudut pandang sejarah, warisan, dan kemajuan masyarakat dalam sebuah fase
peradaban tertentu.
Ada banyak rumah adat di Indonesia yang memiliki nilai
sejarah dan nilai pengetahuan yang penting. Salah satu dari banyak rumah adat
di Indonesia yang memiliki makna sejarah, representasi sebuah komunitas pada
zamannya dan kemajuan sebuah peradaban adalah rumah adat Panjang.
Rumah adat bagi masyarakat Dayak provinsi Kalimantan
Barat. Rumah adat panjang adalah rumah kebanggaan masyarakat Dayak. Rumah yang
memiliki nilai sejarah, arsitektur dan kebudayaan yang kuat. Keberadaan rumah
adat panjang di Kalimantan Barat terbilang sedikit dan terancam hilang. Saat
ini, rumah adat yang ada merupakan kepunyaan orang Dayak Kabupaten Pontianak
berada di desa Saham dan orang Dayak di kecamatan Embaloh Hulu masih memiliki
tiga rumah panjang.
Rumah adat Panjang merupakan representasi dari kehidupan
masyarakat Dayak yang hidup dengan prinsip kebersamaan, kesetaraan dan hidup
gotong royong. Tidak ada kesenjangan antara orang miskin dan orang kaya. Rumah
Panjang merangkul semua orang untuk bersama-sama hidup dengan rukun.
Masyarakat suku dayak mempunyai pandangan bahwa semua orang memiliki hak untuk
hidup yang lebih baik. Maka dari itu keselarasan antara kepentingan pribadi dan
kepentingan umum menjadi hal yang penting diperhatikan. Lebih dari itu, Rumah
Panjang adalah Pusat Kebudayaan masyarakat Dayak. Rumah panjang tempat bagi
segala aktivitas masyarakat Dayak.
Aktivitas yang dilakukan oleh masyarakat Dayak di rumah
adat panjang adalah berkumpul dengan seluruh masyarakat dayak setempat, tempat
tinggal dan tempat untuk saling berbagi antar masyarakat Dayak.
Ada bebrapa bagian rumah panjang yang mencerminkan
kehidupan sosial mereka. Bagian depan rumah panjang digunakan untuk menjemur
padi, bagian tengah dijadikan tempat untuk berkumpul dan bagian belakang
dgunakan untuk keperluan memasak, tidur dan berkumpul antar anggota keluarga.
Penempatan posisi tersebut merupakan cerminan pandangan dari masyarakat Dayak
mengenai ranah-ranah sosial yang bersifat untuk publik dan privat.
- 2. Rumah Gadang (Minangkabau)
ARSITEKTUR TRADISIONAL MINANGKABAU
Salah satu unsur budaya Minangkabau yang secara lahiriah
segera tampak sebagai ciri khas adalah Rumah Gadang. Arsitektur yang khas
dengan fungsi yang khas Minangkabau itu merupakan salah satu unsur budaya yang
memperkaya khazanah budaya Nusantara.
Suatu ciri Rumah Gadang yang sangat menonjol
adalah bentuk atapnya yang melengkung dan menjulang pada kedua ujungnya sehingga
dari arah depan tampak seperti kepala kerbau yang berbentuk runcing atau
seperti bentuk perahu. Bentuk atap yang demikian antara lain juga kita jumpai
pada masyarakat Toraja di Sulawesi Selatan dan juga rumah tradisional daerah
Tapanuli.
Bentuk kepala kerbau itu mungkin saja dapat dikaitkan
dengan tradisi pemujaan arwah nenek moyang dari masa prasejarah melalui media
megalit (budaya batu besar) yang peninggalannya memang sangat banyak terdapat
di daerah Minangkabau, bahkan di Minangkabau masih subur legenda tentang
"kerbau yang menang", namun banyak yang memberi keterangan bahwa
bagian menjulang pada ujung atap itu sebagai "gonjong rabuang
membacuik" atau gonjong berbentuk rebung yang mencuat.
Arsitektur dan bagian-bagian Bangunan
Sesuai dengan pengelompokan masyarakat Minang, Rumah Gadang
juga terdiri atas tiga model/tipe yakni:
1. Rumah Gadang Gajah
Maharam
2. Rumah Gadang Rajo
Babandiang
3. Rumah Gadang Bapaserek.
A. Rumah Gadang Gajah Maharam
Rumah Gadang Gajah Maharam yang juga dikenal sebagai
Rumah Gadang Koto Poliang, dapat dibedakan dengan gaya Rumah Gadang Rajo
Babanding dan Rumah Gadang Bapaserek antara lain karena perbandingan antara
panjang: lebar: tingginya menimbulkan kesan gemuk seperti gajah sedang mendekam.
Ciri lainnya adalah beranjung pada kedua ujung kiri dan kanannya yakni
ditinggikan dari lantai.
1. Ukuran. Tentang ukuran
secara matematika tidak diketahui, hanya disebut dalam pepatah-petitih
sebagai: "Selangkah gading, sepekik anak, sekejab kubin melayang, sekuat
kuaran terbang, selanjar kuda berlari". Jadi ukuran sebuah Rumah Gadang
tidak tertentu, tetapi yang penting selaras, serasi, indah dan semua fungsi
terpenuhi.
2. Tiang. Kayu untuk tiang diambil
dari hutan secara bergotong-royong. Tiap-tiap tiang atau sekumpulan tiang
mempunyai nama masing-masing, seperti: tiang tepi, tiang timban, tiang tengah,
tiang dalam, tiang panjang, tiang selip dan tiang dapur. Sebelum digunakan
kayu-kayu calon tiang itu direndam dalam lumpur di teba bertahun-tahun.
Tiang-tiang dibuat indah, bersegi-segi dan diukir. Banyaknya segi tergantung
besar kecilnya. Yang pahng kecil bersegi delapan, yang lebih besar bersegi 12
atau 16. Yang dimaksud indah tidak selalu harus lurus, ada pula yang bengkok.
Rumah Gadang gaya Gajah Maharam dengan sembilan ruang ditambah anjung kiri dan
kanan, memerlukan tiang 98 (sembilan puluh delapan) batang.
3. Anjung. Anjung adalah
tempat terhormat dengan meninggikannya beberapa puluh centimeter dari
permukaan tanah.
4. Atap. Rumah Gadang beratap
ijuk. Pada bagian sambungan dan pinggiran bertatah timah. Sekarang fungsi ijuk
banyak diganti dengan seng. Gonjongnya ibarat rebung yang mencuat dari tanah.
Pada bagian gonjong ada yang berukir. Banyak pendapat lain tentang atap rumah
gadang. Ada yang membandingkan dengan tanduk kerbau, atau perahu yang pertama
mengangkut nenek moyang Minangkabau, bahkan ada yang membandingkan dengan
Buraq ("burak ka tabang").
5. Batu tapakan, batu alas atau
yang disusun di depan tangga, untuk alas cuci kaki sebelum orang naik tangga.
6. Jenjang
7. Pagar
8. Halaman
9. Lumbung, merupakan unsur amat
penting pada Rumah Gadang
10. Lesung dan lain-lain.
B. Rumah Gadang Rajo Babandiang
Dalam hal arsitektur tidak banyak perbedaan dengan jenis
Gajah Maharam, hanya atapnya yang lebih tinggi dan lebih mencuat ke atas.
Pada bagian dalamnya tidak beranjang. Bagian yang tampak
agak ditinggikan itu bukan anjung tetapi "tingkah". Pada bagian
belakang rumah ada bagian yang ditinggikan lebih kurang sama dengan tingkah dan
disebut "bandua". Bagian luar belakangnya sama dengan Rumah Gadang
Gajah Maharam.
C. Rumah Gadang Bapaserek
Bapaserek berasal dari kata "serek", berarti
berperseret. Yang diseret adalah bagian belakangnya, sehingga kalau dilihat
dari bagian belakang akan tampak lebih keluar dari bagian dinding luar
anjungan.
Rumah Gadang ini ada anjungan tetapi hanya di sebelah
kiri (ujung) dan lebih rendah seperti Rumah Gadang Rajo Babandiang, begitu juga
banduannya.
Fungsi Rumah Gadang
Rumah Gadang Gajah Maharam adalah rumah adat sehingga
dibangun, dirawat dan ditempati sesuai aturan adat. Rumah Gadang bukan milik
perseorangan tetapi milik kaum, jumlahnya pada suatu kaum ditentukan oleh
jumlah anggotanya. Rumah Gadang harus dilengkapi dengan sawah, ladang, dan
pandam pekuburan pula.
Kamar-kamar dihuni oleh anak perempuan sesuai dengan adat
matrilineal, sedang yang memimpin adalah saudara laki-laki ibu.
Sebagai rumah adat yang juga berfungsi sebagai tempat
musyawarah keluarga atau kaum tentang berbagai hal yang menyangkut masalah
kehidupan dan penghidupan kaum itu.
Disamping fungsi secara keseluruhan, tiap-tiap bagian
bahkan tiap-tiap tiang dari rumah adat ini mempunyai fungsi masing-masing.
Proses Pembuatan
Pembangunan Rumah Gadang perlu waktu yang panjang untuk
mengumpulkan bahan, teknis pengerjaan dan tentu saja pengumpulan dana yang
cukup banyak itu, sehingga sejak persiapan hingga siap dihuni memerlukan waktu
beberapa bahkan belasan tahun.
Memang pembangunan dilasanakan secara bertahap dan setiap
tahap selalu diawali dengan musyawarah. Tahap-tahap yang pokok adalah.
1. Mencari "tonggak Tuo"
(tiang tua atau tiang atama). Pekerjaan ini dilakukan oleh orang banyak secara
terorganisasi baik. Hari baik dipilih, dilakukan upacara, kemudian rombongan
yang terdiri dari orang-orang terpilih sesuai dengan fungsi atau keahliannya.
Setelah pilihan dijatuhkan lalu penebangan dan diangkut secara gotong royong
kekampung disertai dengan upacara syukuran.
2. Setelah semua bahan siap,
selanjutnya proses mengerjakan secara bertahap. Acara yang paling penting tahap
ini adalah "menagakkan tonggak tuo". Pekerjaan dilakukan dengan cara
borongan, namun makan dan minum para tukang tetap dijamin. Pekerjaan dilakukan
dengan tertib, bagian-bagian dari kayu yang tampak biasanya diukir dengan
pelbagai motif hiasan.
3. Setelah seluruh pekerjaan
selesai, tahap berikutnya adalah "menaiki" dengan upacara
besar-besaran.
- 3. Rumah Rakit (Bangka Belitung)
Kejayaan film Laskar Pelangi besutan Riri Reza dan Mira Lesmana turut
mengantarkan Bangka Belintung ke puncak popularitas. Provinsi yang terdiri atas
dua pulau utama ini memang menjadi latar pengambilan adegan demi adegan dalam
Laskar Pelangi. Pesona alam mistis dan nyaris tak tersentuh membuat Bangka
Belitung mendapat julukan baru: Surga Tersembunyi. Babel atau Bangka Belitung
memang diberkahi banyak hal memikat. Sebut saja pantai dengan bebatuan
vulkaniknya, pulau-pulau kecil nan menawan serta kekayaan etnis yang menjadi
kekayaan tersendiri dan tak boleh dilewatkan. Keberagaman etnis ini
mengantarkan Bangka Belitung sebagai wilayah dengan budaya yang kental. Warisan
leluhur dalam lingkup budaya terlihat jelas dari rumah adat Bangka
Belitung itu sendiri.
Eropa-Arab-Cina
Secara umum, rumah adat Bangka Belitung terkenal dengan gaya Melayu Bangka-nya. Konon, arsitektur rumah ini sudah ada sejak abad ke 15 silam dan pada perjalanannya mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan Arab, Eropa bahkan Cina. Uniknya, meski digempur banyak kebudayaan dari berbagai sisi, karakter rumah adat Bangka Belitung justru muncul menjadi karakter bangunan baru yang menarik untuk disimak.
Jika diperhatikan secara seksama, rumah adat Bangka Belitung masih “mewarisi” gaya arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubungan Limas dan juga rumah Melayu Bubung Panjang. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu, daun-daun, akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang atap yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia juga dipermanis dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan yang banyak. Adapun bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan juga rumah dapur.
Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9 tiang. Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama bangunan terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat dari pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak dipermanis dengan cat dan semacamnya. Jadi, jika Anda menjumpai rumah adat Bangka Belitung terlihat lusuh, justru di situlah karakternya melekat!
Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga mengadopsi rumah Melayu Bubung Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan bangunan di sisi badan rumah utama. Penambahan sisi rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu seperti Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung. Selain dipengaruhi oleh rumah Melayu Awal, rumah Bubung Limas dan rumah Bubung Panjang, konon rumah adat Bangka Belitung ini juga mengadopsi gaya rumah Rumah Rakit. Hanya saja pengaruhnya tak sekuat rumah khas Melayu lainnya.
Jika Anda berkunjung ke Bangka Belitung, tak ada salahnya menyempatkan diri untuk menyambangi rumah adat di provinsi muda yang satu ini. Selain memperkaya khazanah keilmuan Anda, wisata rumah adat ini juga akan menambah inspirasi. Terutama jika Anda penggemar arsitektur tua di nusantara.
Eropa-Arab-Cina
Secara umum, rumah adat Bangka Belitung terkenal dengan gaya Melayu Bangka-nya. Konon, arsitektur rumah ini sudah ada sejak abad ke 15 silam dan pada perjalanannya mendapat banyak pengaruh dari kebudayaan Arab, Eropa bahkan Cina. Uniknya, meski digempur banyak kebudayaan dari berbagai sisi, karakter rumah adat Bangka Belitung justru muncul menjadi karakter bangunan baru yang menarik untuk disimak.
Jika diperhatikan secara seksama, rumah adat Bangka Belitung masih “mewarisi” gaya arsitektur Melayu Awal, Melayu Bubungan Limas dan juga rumah Melayu Bubung Panjang. Rumah Melayu Awal berupa rumah panggung dengan bahan utama kayu, rotan, bambu, daun-daun, akar pohon dan atau juga alang-alang. Rumah Melayu Awal ini menyumbang atap yang tinggi dan sedikit miring pada bangunan Bangka Belitung. Selain itu, ia juga dipermanis dengan beranda yang ada di depan rumah juga jendela atau bukaan yang banyak. Adapun bagian dalam rumah terdiri atas rumah induk atau ibu dan juga rumah dapur.
Adapun pada bagian tiangnya, rumah adat Bangka Belitung dipengaruhi oleh falsafah 9 tiang. Bangunan tradisional hampir selalu dijumpai berdiri dengan 9 tiang. Tiang utama bangunan terletak persis di bagian tengah rumah. Sementara itu bagian dinding lazim terbuat dari pelepah kayu, kadang juga buluh atau bambu. Uniknya, dinding ini sama sekali tidak dipermanis dengan cat dan semacamnya. Jadi, jika Anda menjumpai rumah adat Bangka Belitung terlihat lusuh, justru di situlah karakternya melekat!
Jika dicermati, rumah adat Bangka Belitung juga mengadopsi rumah Melayu Bubung Panjang. Hal ini terlihat dari penambahan bangunan di sisi badan rumah utama. Penambahan sisi rumah ini konon merupakan hasil akulturasi kebudayaan non-Melayu seperti Tionghoa. Adapun pengaruh Eropa atau kolonial terlihat pada tangga rumah yang diletakkan pada batu dan bentuknya dibikin melengkung. Selain dipengaruhi oleh rumah Melayu Awal, rumah Bubung Limas dan rumah Bubung Panjang, konon rumah adat Bangka Belitung ini juga mengadopsi gaya rumah Rumah Rakit. Hanya saja pengaruhnya tak sekuat rumah khas Melayu lainnya.
Jika Anda berkunjung ke Bangka Belitung, tak ada salahnya menyempatkan diri untuk menyambangi rumah adat di provinsi muda yang satu ini. Selain memperkaya khazanah keilmuan Anda, wisata rumah adat ini juga akan menambah inspirasi. Terutama jika Anda penggemar arsitektur tua di nusantara.
- 4. Rumah Rakyat (Bengkulu)
Rumah adat daerah Bengkulu dinamakan Rumah Rakyat. Rumah
Rakyat merupakan rumah panggung yang terdiri dari 3 kamar yaitu, kamar orang
tua, kamar gadis, dan kamar bujang. Kolong dibawahnya untuk pb venyimpanan kayu
dapur dan barang lainnya. Pada piintu masuk ruang tengah terdapat gambar Buraq,
pertanda ketangguhan hati penduduknya menjalankan agama islam.
Rumah fRakyat terbuat dari kayu meranti dan dilengkapi
dengan tangga masuk dari semen. Pada tiang depan rumah disebalah kiri biasanya
terdapat tanduk kerbau. Hal ini menunjukkan bahwa yang punya runah pernah
mengadakan upacara atau pesta perkawinan. Jumlah tanduk sesuai pula dengan
banyaknya upacara atau pesta yang telah diadakan.
- 5. Rumah Kasepuhan Cirebon (jawa Barat)
ARSITEKTUR BERSEJARAH DI JAWA BARAT
Rumah Kasepuhan atau Keraton Kasepuhan (Cirebon) ditilik
dari namanya (Keraton Kasepuhan), rumah ini memang bukan hunian biasa,
melainkan tempat bermukim Raja/Sultan Cirebon, sekaligus pusat pemerintahan.
Arsitektur bangunan (-bangunan) bersejarah ini merupakan perpaduan unsur budaya
Islam, Hindu-Budhha, Kristen (Barat), dan Konfusianisme (China).
Keraton Kasepuhan didirikan sekitar tahun 1529 oleh
Pangeran Cakrabuana, putra Prabu Siliwangi dari Kerajaan Padjajaran. Keraton
ini merupakan perluasan dari Keraton Pakungwati, yang merupakan keraton yang
telah ada sebelumnya. Walaupun telah berusia tua, kompleks bangunan tradisional
ini masih terawat dengan baik.
Bagian-bagian Keraton Kasepuhan Cirebon
Berikut adalah bagian-bagian penting yang terdapat dalam
kompleks Keraton Kasepuhan:
· Pintu
Gerbang Utama Keraton Kasepuhan
Pintu gerbang ini terletak di sebelah utara, sementara
pintu gerbang kedua berada di selatan kompleks. Gerbang utara disebut Kreteg
Pangrawit berupa jembatan, sedangkan di sebelah selatan disebut
LawangSanga (pintu sembilan). Setelah melewati Kreteg (jembatan) Pangrawit akan
sampai di bagian depan keraton. Di bagian ini terdapat dua bangunan, yaitu
Pancaratna dan Pancaniti.
· Bangunan
Pancaratna
Berada di kiri depan kompleks arah Barat, berdenah
persegi panjang, dengan ukuran 8 x 8 m. Lantai tegel, konstruksi atap ditunjang
empat sokoguru di atas lantai yang lebih tinggi, dan 12 tiang pendukung di
permukaan lantai yang lebih rendah. Atap dari bahan genteng, pada puncaknya
terdapat mamolo. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat seba atau
tempat yang menghadap para pembesar desa atau kampung yang diterima oleh Demang
atau Wedana. Secara keseluruhan memiliki pagar besi.
· Bangunan
Pangrawit
Berada di kiri depan kompleks menghadap arah Utara.
Bangunan ini berukuran 8 x 8 m, berantai tegel. Bangunan ini terbuka tanpa
dinding. Tiang-tiang yang berjumlah 16 buah mendukung atap sirap. Bangunan
ini memiliki pagar terali besi. Nama Pancaniti berasal dari panca berarti
jalan, dan niti yang berarti mata atau raja atau atasan. Bangunan ini
berfungsi sebagai tempat perwira melatih prajurit, tempat istirahat, dan juga
sebagai tempat pengadilan.
Halaman/kompleks dalam keraton kasepuhan Cirebon dibagi
menjadi 3 bagian, yaitu:
· Halaman
Pertama
Setelah melewati Pancaratna dan Pancaniti selanjutnya
memasuki halaman pertama. Untuk memasukinya, bisa melewati Gapura Adi atau
Gapura Banteng. Gapura Adi berupa pintu gerbang berbentuk bentar berukuran 3,70
x 1,30 x 5 m menggunakan bahan bata. Gapura Adi ini berada di utara Siti
Inggil. Gapura Benteng berupa pintu gerbang dengan bentuk bentar berukuran 4,50
x 9 m. Pintu ini lebih besar dan tinggi daripada Gapura Adi. Pada pipi tangga
sebelah Timur terdapat stilirisasi bentuk banteng.
Halaman pertama merupakan kompleks Siti Inggil, di
kompleks terdapat beberapa bangunan, antara lain:
1. Mande Pendawa Lima, yang
berfungsi untuk tempat duduk pengawal Raja.
2. Mande Malang Semirang, yang
berfungsi sebagai tempat duduk raja timadu menyaksikan acara di alun-alun.
3. Mande Semar Timandu, adalah
bangunan yang berfungsi sebagai tempat duduk penghulu atau penasehat raja.
4. Mande Karesmen, yaitu bangunan
sebagi tempat menampilkan kesenian untuk raja.
5. Mande Pengiring yaitu bangunan
sebagai tempat mengiring raja. Selain bangunan tersebut masih ada satu bangunan
lagi yaitu bangunan Pengada. Bangunan ini berukuran 17 x 9,5 m, berfungsi
sebagai tempat membagi berkat dan tempat pemeriksaan sebelum menghadap raja.
· Halaman
kedua
Halaman kedua dibatasi tembok bata. Pada pagar bagian
Utara terdapat dua gerbang, yaitu Regol Pengada dan gapura lonceng. Regol
Pengada merupakan pintu gerbang masuk halaman ketiga dengan ukuran panjang
dasar 5 x 6,5 m. Gerbang yang berbentuk paduraksa ini menggunakan
batu dan daun pintunya dari kayu. Gapura Lonceng terdapat di sebelah Timur
Gerbang Pangada dengan ukuran panjang dasar 3,10 x 5 x 3 m. Gerbang ini
berbentuk kori agung (gapura beratap) menggunakan bahan bata.
1. Halaman Pengada. Halaman
Pengada berukuran 37 x 37 m yang berfungsi untuk memarkirkan kendaraan atau
menambatkan kuda. Di halaman ini dahulu ada sumur untuk memberi minum kuda.
2. Halaman kompleks Langgar Agung,
merupakan halaman di mana terdapat bangunan kompleks Langgar Agung. Bangunan
Langgar Agung menghadap ke arah Timur, memiliki bangunan utama dengan ukuran 6
x 6 m. Teras 8 x 2, 5 m. Jadi bangunan ini berbentuk “T” terbalik Karena teras
depan lebih besar dari bangunan utama. Bagian teras berdinding kayu setengah
dari permukaan lantai, kemudian setengah bagian atas diberi terali kayu.
Dinding bangunan utama merupakan dinding tembok. Mihrab berbentuk melengkung
berukuran 5 x 3 x 3 m. Di dalam mihrab tersebut terdapat mimbar terbuat dari
kayu berukuran 0,90x 0,70×2 m. Atap Langgar Agung merupakan atap tumpang
dua dengan menggunakan sirap. Konstruksi atap disangga 4 tiang utama. Langgar
Agung ini memiliki halaman dengan ukuran 37 x 17 m. Langgar ini berfungsi
sebagai tempat ibadah kerabat keraton. Bangunan Langgar Agung dilengkapi pula
dengan Pos Bedug Somogiri. Bangunan yang menghadap ke Timur ini berdenah
bujursangkar berukuran 4 x 4 m yang di dalamnya terdapat bedug (tambur). Bangunan
ini tanpa dinding dan atap berbentuk limas, penutup atap didukung 4 tiang utama
dan 5 tiang pendukung.
3. Halaman Ketiga
Halaman ketiga merupakan kompleks inti Keraton Kasepuhan.
Di dalamnya terdapat beberapa bangunan seperti:
1. Taman Bunderan Dewandaru. Taman
ini berdenah bulat, telur terbuat dari batu cadas. Memiliki arti dari
namanya, bunder, yang berarti sepakat. Dewa berarti dewa dan ndaru artinya
cahaya. Arti keseluruhan adalah “orang yang menerangi sesama mereka yang masih
hidup dalam masa kegelapan”. Luas taman 20 m2. Di taman ini terdapat nandi,
pohon soko sebagai lambang bersuka hati, 2 patung macan putih merupakan lambang
Pajajaran, meja dan bangku, 2 buah meriam yang dinamai Ki Santomo dan Nyi
Santoni.
2. Museum Benda
Kuno. Bangunan yang menghadap Timur berbentuk “E”. Terdapat 2 pintu untuk
memenuhi bangunan tersebut. Di sini disimpan benda-benda kuno Keraton
Kasepuhan.
3. Museum Kereta. Bangunan
ini menghadap barat dan teat di Timur Taman Bunderan Dewandaru ini berukuran
13,5 x 11 m. Di Museum Kereta tersimpan kereta-kereta dan barang lainnya.
4. Tunggu Manunggal. Bangunan
ini berupa batu pendek ± 50 cm, dikelilingi 8 buah pot bunga yang melambangkan
Allah yang satu zat sifatnya.
5. Lunjuk. Bangunan yang
menghadap Timur ini berukuran 10 x 7 m yang berfungsi melayani tamu dalam
mencatat dan melaporkan urusannya menghadap raja.
6. Sri Manganti. Bangunan ini
berada di Timur tugu manunggal berbentuk bujursangkar. Bangunan ini terbuka
tanpa dinding, bungbungan berbentuk joglo dan atap genteng didukung dengan 4
tiang soko guru, 12 tiang tengah dan 12 tiang luar. Langit-langit dipenuhi
ukiran-ukiran yang berwarna putih dan coklat. Bangunan ini bernama Sri Manganti
karena arti sri artinya raja, manganti artinya menunggu. Sehinggra artinya
secara keseluruhan tempat menunggu keputusan raja.
7. Bangunan Induk Keraton.Bangunan
induk keraton merupakan tempat aktivitas Sultan, dalam bangunan ini terdapat
beberapa ruangan dengan fungsi yang berbeda, yaitu :
· Kuncung
dan Kutagara Wadasan. Kuncung berupa bangunan berukuran 2,5 x 2,5 x 2,5 m
yang digunakan parkir kendaraan sultan. Kutagara Wadasan adalah gapura yang
bercat putih dengan gaya khas Cirebon berukuran lebar 2,5 m dan tinggi ± 2,5 m.
Gaya Cirebon tampak pada bagian bawah kaki gapura yang berukiran wadasan dan
bagian atas dengan ukiran mega mendung. Arti ukiran tersebut seseorang harus
mempunyai pondasi yang kuat jika sudah menjadi pimpinan atau sultan harus bisa
mengayomi bawahan dan rakyatnya.
· Jinem
Pangrawit, yaitu bangunan yang berfungsi sebagai serambi keraton. Nama
jinem Pangrawit berasal dari kata jinem atau kajineman berarti tempat tugas dan
Pangrawit berasal dari kata rawit berati kecil, halus atau bagus. Lantai
marmer, dinding tembok berwarna putih dan dihiasi keramik Eropa. Atap didukung
4 tiang sokoguru kayu dengan umpak beton. Ruangan ini digunakan sebagai tempat
Pangeran Patih dan wakil sultan dalam menerima tamu.
· Gajah
Nguling, yaitu ruangan tanpa dinding dan terdapat 6 tiang bulat bergaya
tiang tuscan setinggi 3 m. Lantai tegel dan langit-langit berwarna
hijau. Ruangan ini tidak memanjang lurus tapi menyerong (membengkok) dan
kemudian menyatu dengan bangsal Pringandani. Bentuk ruangan ini mengambil
bentuk gajah yang sedang Nguling (menguak) dengan belalainya yang bengkok.
Ruangan ini dibangun oleh Sultan Sepuh IX pada tahun 1845.
· Bangsal
Pringgandani, merupakan ruangan yang berada di sebelah selatan ruangan
Gajah Nguling. Ruangan ini memiliki 4 tiang utama segi empat berwarna hijau
yang berfungsi sebagai tempat menghadap para Bupati Cirebon, Kuningan,
Indramayu dan Majalengka. Sewaktu-waktu dipakai pula sebagai tempat sidang
warga keraton.
· Bangsal
Prabayasa, berada di selatan bangsal Pringgandani. “Prabayasa” berasal
dari kata praba artinya sayap dan yasa artinya besar.
Kata-kata tersebut mengandung arti bahwa Sultan melindungi rakyatnya dengan
kedua tangannya yang besar. Pada dinding ruangan terdapat relief yang diberi
nama Kembang Kanigaran berarti lambing kenegaraan. Maksudnya Sri Sultan dalam
pemerintahannya harus welas asih pada rakyatnya.
· Bangsal
Agung Panembahan, merupakan ruangan yang berada di selatan dan satu meter
lebih tinggi dari bangsal Prabayaksa. Fungsinya sebagai singgasana Gusti
Panembahan. Ruangan ini masih asli dan belum ada perubahan sejak dibangun tahun
1529.
· Pungkuran, merupakan
ruangan serambi yang terletak di belakang Keraton. Tempat ini berfungsi sebagai
tempat meletakan sesaji pada waktu peringatan Maulid Nabi Muhamad.
· Bangunan
Dapur Maulud, berada di depan Kaputren dengan arah hadap Timur yang berfungsi
sebagai tempat memasak persiapan peringatan Maulid Nabi SAW.
· Pamburatan, merupakan
bangunan yang berada di selatan Kaputren. Pambuaran artinya menggurat atau
mengerik. Bangunan ini berfungsi sebagai tempat mengerik kayu-kayu wangi (kayu untuk
boreh) untuk kelengkapan selamatan Maulud Nabi SAW.
Keraton Kasepuhan dan Masyarakat
Hingga kini, Keraton Kasepuhan masih terawat dengan baik,
dan sering kali menjadi pusat kegiatan masyarakat, terutma dalam ritus-ritus
sosial budaya. Berikut adalah beberapa kegiatan rutin yang biasa digelar di
Keraton Kasepuhan:
1) Syawalan Gunung Jati,
2) Ganti Welit,
3) Rajaban,
4) Ganti Sirap,
5) Muludan,
6) Salawean Trusmi, dan
7) Nadran. Selain menjadi pusat pelestarian budaya,
Keraton Kasepuhan juga menjadi salah satu destinasi wisata di Jawa Barat.
Secara umum rumah adat Baduy merupakan rumah panggung
yang hampir secara keseluruhan rumah menggunakan bahan bambu. Rumah adat baduy
ini sendiri terkenal dengan kesederhanaan, dan dibangun berdasarkan naluri
manusia yang ingin mendapatkan perlindungan dan kenyamanan.
Bangunan rumah adat Baduy dibuat tinggi, berbentuk
panggung, mengikuti tinggi rendahnya/kontur permukaan tanah. Pada tanah yang
miring dan tidak rata permukaannya, bangunan disangga menggunakan tumpukan
batu. Batu yang digunakan adalah batu kali, berfungsi sebagai tiang penyangga
bangunan dan menahan agar tanah tidak longsor.
Atap rumah adat baduy terbuat dari daun yang disebut sulah
nyanda. Nyanda berarti sikap bersandar, sandarannya tidak lurus
melainkan agah merebah ke belakang. Salahsatu sulah nyanda ini dibuat
lebih panjang dan memiliki kemiringan yang lebih rendah pada bagian bawah
rangka atap.
Bilik rumah dan pintu rumah terbuat dari anyaman bambu
yang dianyam secara vertikal. Teknik anyaman tersebut dikenal dengan nama sarigsig tersebut
dibuat hanya dengan berdasarkan perkiraan, tidak diukur terlebih dahulu. Kunci
rumah dibuat dengan memalangkan dua buah kayu yang ditarik atau didorong dari
bagian luar rumah.
Ada tiga ruangan dalam bangunan rumah adat ini, yaitu
ruangan yang dikhususkan untuk ruang tidur kepala keluarga juga dapur yang
disebut imah, ruang tidur untuk anak-anak sekaligus ruang makan yang
disebut tepas, dan ruang untuk menerima tamu yang disebut sosoro.
Seluruh bangunan dibangun menghadap satu dengan yang
lainnya. Secara adat rumah Baduy hanya diperbolehkan menghadap ke utara dan
selatan saja.
Secara spesifik Henry H Loupias menyusun sebuah tulisan Mengenal
Arsitektur Rumah Adat Baduy dalam upayanya memperkenalkan kearifan dan
sinergisitas masyarakat Baduy. Seperti yang saya kutip secara keseluruhan di
bawah ini:
“Imah” dalam Arsitektur Baduy Dalam
Pada umumnya kehidupan sehari-hari suku-suku di pedalaman
mengandalkan naluri, termasuk dalam upaya menyesuaikan serta menyelaraskan diri
dengan lingkungan alam sekitarnya. Banyak teknik atau cara yang digunakannya
tergolong berteknologi cukup “tinggi” dan mampu memprediksi kebutuhan hidupnya
hingga masa depan.
Kecenderungan tersebut diperlihatkan secara jelas pada
arsitektur vernakular suku Baduy Dalam di Kampung Cibeo. Bentuk dan gaya
bangunan rumah tinggalnya sangat sederhana, dibangun berdasarkan naluri sebagai
manusia yang membutuhkan tempat berlindung dari gangguan alam dan binatang
buas. Kesan sederhana tersebut tersirat dalam penataan eksterior dan
interiornya.
Seluruh bangunan rumah tinggal suku Baduy menghadap ke
utara-selatan dan saling berhadapan. Menghadap ke arah barat dan timur tidak
diperkenankan berdasarkan adat. Di samping itu, ada hal yang cukup menarik dan
penting di kalangan suku Baduy, yaitu cara mereka memperlakukan alam atau bumi.
Mereka tidak pernah berusaha mengubah atau mengolah keadaan lahannya-misalna
ngalelemah taneuh, disaeuran, atawa diratakeun-untuk kepentingan bangunan yang
akan didirikan di atasnya.
Sebaliknya, mereka berusaha memanfaatkan dan menyesuaikan
dengan keadaan dan kondisi lahan yang ada. Hasilnya memperlihatkan permukiman
yang alami. Bangunan-bangunan tersebut bagaikan sebuah kesatuan dari alam itu
sendiri, berdiri berumpak-umpak mengikuti kontur atau kemiringan tanahnya.
Rumah tinggal suku Baduy Dalam termasuk jenis bangunan knock
down dan siap pakai, yang terdiri dari beberapa rangkaian komponen.
Selanjutnya, komponen-komponen tersebut dirakit atau dirangkai dengan cara
diikat menggunakan tali awi temen ataupun dengan cara dipaseuk.
Konstruksi utamanya yang berfungsi untuk menahan beban
berat, seperti tihang-tihang, panglari, pananggeuy, dan lincar,
dipasang dengan cara dipaseuk karena alat paku dilarang digunakan. Justru
teknik tersebut bisa memperkuat karena kedua kayu yang disambungkan lebih
menyatu, terutama ketika kedua kayunya sudah mengering.
Sementara komponen seperti bilik (dinding), rarangkit (atap),
dan palupuh (lantai) hanya sekadar diikat atau dijepit pada bambu
atau kayu konstruksi. Oleh karena itu, bangunan rumah tinggal suku Baduy
termasuk jenis bangunan tahan gempa karena konstruksinya bersifat fleksibel dan
elastis.
Bangunan rumah tinggalnya berbentuk rumah panggung.
Karena konsep rancangannya mengikuti kontur lahan, tiang penyangga
masing-masing bangunan memiliki ketinggian berbeda-beda. Pada bagian tanah yang
datar atau tinggi, tiang penyangganya relatif rendah. Adapun pada bagian yang
miring, tiangnya lebih tinggi. Tiang-tiang penyangga tersebut bertumpu pada
batu kali agar kedudukannya stabil.
Batu kali merupakan komponen yang cukup penting pula di
lingkungan kampung suku Baduy. Selain digunakan untuk tumpuan tiang penyangga,
batu kali juga digunakan sebagi penahan tanah agar tidak longsor. Caranya
dengan ditumpuk membentuk benteng, atau dipakai untuk membuat anak tangga,
selokan, ataupun tempat berjalan yang sangat berguna terutama jika musim hujan
tiba.
Jenis atapnya disebut sulah nyanda. Pengertian dari nyanda adalah
posisi atau sikap bersandar wanita yang baru melahirkan. Sikap menyandarnya
tidak tegak lurus, tetapi agak merebah ke belakang. Jenis atap sulah
nyanda tidak berbeda jauh dengan jenis atap julang ngapak. Jika jenis
atap yang disebutkan terakhir memiliki dua atap tambahan di kedua sisinya, atap
jenis sulah nyanda hanya memiliki satu atap tambahan yang disebut curugan.
Salah satu atap pada sulah nyanda lebih panjang dan memiliki kemiringan yang
rendah.
Rumah tinggal suku Baduy hanya memiliki satu pintu masuk
yang ditutup dengan panto, yaitu sejenis daun pintu yang dibuat dari
anyaman bilah-bilah bambu berukuran sebesar ibu jari dan dianyam secara
vertikal. Teknik anyaman tersebut disebut sarigsig. Orang Baduy tidak
mengenal ukuran seperti halnya masyarakat modern. Karena itu, mereka pun tidak
pernah tahu ukuran luas maupun ketinggian rumah tinggal mereka sendiri.
Semuanya dibuat dengan perkiraan dan kebiasaan semata.
Dalam menentukan ukuran lebar pintu masuk, mereka cukup menyebutnya dengan
istilah sanyiru asup. Lebar pintu diukur selebar ukuran alat untuk menampi
beras. Sebagian besar pintu tidak dikunci ketika ditinggalkan penghuninya. Akan
tetapi, beberapa orang membuat tulak untuk mengunci pintu dengan cara
memalangkan dua kayu yang didorong atau ditarik dari samping luar bangunan.
Ruangan Inti
Pembagian interiornya terdiri dari tiga ruangan, yaitu sosoro, tepas,
dan imah. Sosoro dipergunakan untuk menerima kunjungan tamu.
Letaknya memanjang ke arah bagian lebar rumah. Selanjutnya, ruang tepas yang
membujur ke arah bagian panjang atau ke belakang digunakan untuk acara makan
atau tidur anak-anak. Antara ruangan sosoro dan tepas tidak terdapat
pembatas. Keduanya menyatu membentuk huruf L terbalik atau siku.
Tampaknya bagian inti dari rumah suku Baduy terletak pada
ruangan yang disebut imah karena ruang tersebut memiliki fungsi
khusus dan penting. Selain berfungsi sebagai dapur (pawon), imah juga berfungsi
sebagai ruang tidur kepala keluarga beserta istrinya.
Mereka tidak memiliki tempat tidur khusus, tetapi hanya
menggunakan tikar. Alas tersebut digunakan hanya sewaktu tidur, setelah itu
dilipat kembali dan disimpan di atas rak. Cara tersebut menunjukkan bahwa
kegunaan imah sangat fleksibel dan multifungsi. Di sekeliling ruangan
imah terdapat rak-rak untuk menyimpan peralatan dapur dan tikar untuk tidur.
Secara garis besar, yang dinamakan imah adalah
sebuah ruangan atau bagian inti dari tata ruang dalam rumah tinggal suku Baduy.
Hampir seluruh kegiatan berpusat pada ruangan tersebut, baik hal-hal yang
bersifat lahiriah, seperti menyediakan makanan dan minuman, maupun hal-hal yang
batiniah, termasuk menjalankan peran sebagai pasangan suami-istri dan kepala
keluarga.
Melalui kegiatan bergotong royong seluruh kampung, dalam
sehari mereka dapat menyelesaikan sekitar sepuluh bangunan rumah tinggal yang
luasnya lebih kurang 100-120 meter persegi. Hal ini dapat terlaksana karena
mereka tinggal memasang seluruh komponennya.
Di Desa Cibeo terdapat 80 rumah tinggal dengan 100 kepala
keluarga. Saat pelaksanaan program, seluruh warga turun bergotong royong,
bahu-membahu membantu tanpa pamrih. Mereka menyumbangkan bahan bangunan,
komponen rumah, atau tenaganya. Hal itu merupakan bentuk kebersamaan kolektif
yang masih kuat dan dipelihara di kalangan suku Baduy Dalam hingga kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar